ABORSI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Selain membahas hukum aborsi, ada dua fakta yang dibedakan oleh para fuqaha dalam masalah ini. Pertama : apa yang disebut imlash (aborsi, pengguguran kandungan). Kedua, isqath (penghentian kehamilan). Imlash adalah menggugurkan janin dalam rahim wanita hamil yang dilakukan dengan sengaja untuk menyerang atau membunuh.
Dalam hal ini, tindakan imlash (aborsi tersebut jelas termasuk kategori dosa besar, merupakan tindak kriminal, pelakunya dikenai diyat ghurrah budak pria atau yang nilainya sama dengan sepuluh diyat manusia sempurna.dalam kitab ash- shahihayn, telah diriwayatkan bahwa umar telah meminta memasukan para sahabat tentang aktifitas imlash yang dilakukan oleh seorang wanita, dengan cara memukuli perutnya, lalu janinnya pun gugur Al-Magirah bin su’bah berkata:
“Rasulullah SAW, telah memutuskan dalam kasus seperti itu dengan diyat
ghurah satu budak pri atau wanita.”.
Ini berbeda dengan isqhatn al-haml (pengertian kehamilan) atau upaya untuk menghentikan kehamilan yang dilakukan secara sadar, bukan karena keterpaksaan, baik dengan cara mengkonsumsi obat, melalui gerakan atau aktifitas medis tertentu. Pengertian kehamilan dalam pengertian ini tidak identik dengan penyerangan atau pembunuhan, tetapi bisa juga diartikan dengan mengeluarkan kandungan, baik setelah terbentuk janin ataupun belum dengan paksa.
Dalam hal ini, penghentian kehamilan (al-ijhadh) tersebut kadang dilakukan sebelum ditiupkannya ruh didalam janin, atau setelahnya. Tentang status hukum penghentian kehamilan terhadap janin, setelah ruh ditiupkan kepadanya, maka para ulama sepakat bahwa hukumnya haram, baik dilakukan oleh si ibu bapak atau dokter.
Sebab, tindakan tersebut merupakan bentuk penyerangan terhadap jiwa manusia yang darahnya wajib dipertahankan. Tindakan ini njuga merupakan dosa besar. Firman allah swt :
Artinya :
“ Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh allah kecuali dengan
cara yang haq.” (QS. Al-an’am :151).
Dr. Abdurrahman al-baghdadi (1998) dalam bukunya emansipasi adakah dalam islam menyebutkan bahwa aborsi dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan, jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh yaitu setelah empat bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqaha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh, sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya. Pendapat yang disepakati fuqaha yaitu, bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (4 bulan) didasarkan pada kenyataan pada peniupan ruh terjadi setelah 4 bulan masa kehamilan.
Abdullah bin mas’ud bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiaanya dalam perut ibumu setelah 40 hari dalam bentuk nuthfah kemudian dalam bentuk alaqah selama itu pula, kemudian dalam bentuk mudghah selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya”. (hr. Bukhari muslim, abudawud, ahmad dan tirmidzi).
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa . dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT :
Artinya :
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka. (QS. Al-an’am :151)
Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin ataupun setelah peniupan ruh kepadanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu, akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran islam sesuai firman allah swt :
Artinya :
“ Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (QS. Al-maidah :32)
Disamping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk upaya pengobatan. Sedangkan Rasululah SAW telah memerintaqhkan umatnya untuk berobat. Rasulullah saw bersabda :
“ Sesungguhnya Allah azza wa jalla setiap kali menciptakan penyakit pula dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian “ (HR. Ahmad).
Jika seorang wanita yang tengah mengandung mengalami kesulitan saat melahirkan, ketika janinnya telah berusia enam bulan lebih, lalu wanita tersebut melakukan operasi sesar. Penghentian kehamilan seperti ini hukumnya boleh, karena operasi tersebut merupakan proses kelahiran secara tidak alami. Tujuannya untuk menyelamatkan nyawa ibu dan janinnya sekaligus. Hanya saja, minimal usia kandungannya enam bulan. Aktivitas medis seperti ini tidak masuk dalam kategori aborsi; lebih tepat disebut proses pengeluaran janin (melahirkan) yang tidak alami.
Jika janinnya belum berusia enam bulan, tetapi kalau janin tersebut tetap dipertahankan dalam rahim ibunya, maka kesehatan ibunya bisa terganggu. Dalam kondisi seperti ini, kehamilannya tidak boleh dihentikan, dengan cara menggugurkan kandungannya. Sebab, sama dengan membunuh jiwa. Alasannya, karena hadis-hadis yang ada telah melarang dilakukannya pengguguran, serta ditetapkannya diyat untuk tindakan seperti ini.
janin tersebut meninggal di dalam kandungan. Dalam kondisi seperti ini, boleh dilakukan penghentian kehamilan. Sebab, dengan dilakukannya tindakan tersebut akan bisa menyelamatkan nyawa ibu, dan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapinya; sementara janin tersebut berstatus mayit, yang karenanya harus dikeluarkan.
Jika janin tersebut belum berusia enam bulan, tetapi kalau janin tersebut tetap dipertahankan dalam rahim ibunya, maka nyawa ibunya akan terancam. Dokter pun sepakat, kalau janin tersebut tetap dipertahankan—menurut dugaan kuat atau hampir bisa dipastikan nyawa ibunya tidak akan selamat, atau mati. Dalam kondisi seperti ini, kehamilannya boleh dihentikan, dengan cara menggugurkan kandungannya, yang dilakukan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa ibunya. Alasannya, karena Rasulullah saw. memerintahkan berobat dan mencari kesembuhan. Di samping itu, jika janin tersebut tidak digugurkan, ibunya akan meninggal, janinnya pun sama, padahal dengan janin tersebut digugurkan, nyawa ibunya akan tertolong, sementara menyelamatkan nyawa (kehidupan) tersebut diperintahkan oleh Islam.
Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang menggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan mudharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut.
BUNUH DIRI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Orang yang bunuh diri tidak dibenarkan oleh Islam dan dilarang keras
untuk melakukan tindakan nekad tersebut, sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” (An-Nisa: 29)
Ibnu Abbas dan kebanyakan ulama menafsirkan ayat dengan pengertian
“jangan saling membunuh antara sesama Muslim”, sedangkan Amru bin Ash memahami dengan pengertian: “Jangan bunuh diri”. Penafsiran Amru bin Ash ini pun dibenarkan oleh Rasulullah. Umpamanya, seorang yang sedabg sakit parah, dilarang oleh dokter mandi dengan air dingin. Orang yang melanggar larangan dokter tersebut, termasuk ke dalam pengertian ayat di atas, karena secara langsung atau tidak, akan membawa bahaya dan akibatnya berakhir dengan kematian.
Bunuh diri atau saling membunuh menurut penafsiran Amru bin Ash dan Ibnu Abbas. Kedua-duanya tidak dibenarkan oleh agama islam, walaupun penyebabnya berbeda. Orang bunuh diri karena putus asa, sedang orang yang saling membunuh karena memendam dendam, karena iri hati, atau saling bermusuhan, walaupun menganut agama yang sama (Islam) tetap tidak dibenarkan oleh Islam. Sebenarnya islam menghendaki pemeluk-pemeluknya mempunyai kemauan yang kuat menghadapi segala macam tantangan dan penderitaan. Dalam keadaan bagaimanapun Islam tidak membenarkan pemeluk-pemeluknya lari dari kenyataan, memang lebih banyak pahit daripada manisnya. Setiapmukmin diciptakan untuk jihad, bukan untuk berpangku tangan, maju dan bertahan, bukan lari medan perjuangan, kepada orang yang ingin bunuh diri Rasulullah memperingatkan, bahwa orang itu dilarang (diharamkan) masuk surga, dan yang layak menjadi tempatnya adalah neraka. Nabi SAW bersabda:
Artinya:
“Pernah ada sebelum kamu seorang laki-laki yang tyerluka, lalu ia berkeluh kesah. Kemudian dia mengambil pisau dan memotong tangannya (nadinya). Lalu darahnya tidak henti-hentinya keluar sampai dia meninggal dunia. Allah pun berfirman: “Hamba-Ku telah menyegerakan kematiannya (sebelum aku mematikannya). Karena itu aku akan haramkan juga untuknya.” (HR. Muttafaq Alaih)
Ayat Al-Quran dan hadits tersebut diatas dengan jelas menunjukkan, bahwa
bunuh diri itu dilarang keras oleh Islam dengan alasan apapun.
AIR SUSU IBU DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Asi memiliki banyak keunggulan termasuk dalam aspek kedokteran yang paling banyak didengung-dengungkan. Asi bagi bayi dan balita secara ilmiah telah terbukti memiliki berbagai aspek keunggulan bila dibandingkan dengan susu sapi atau susu yang berasal dari sumber lain. Dan keunggulan itu baru dapat dibuktikan dengan penelitian ilmiah modern di penghujung abad ke-20. secara ekonomi jelas asi lebih murah bila dibandingkan dengan susu sumber lain. Firman Allah SWT :
Artinya :
“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. (QS. Al-baqarah : 233)
Hal ini telah ditegaskan islam didalam al-qur’an semenjak sekitar 1400 tahun
yang lalu.
Kehalalan air susu ibu, tidak ada orang yang meragukannya baik air susu ibu si bayi, maupun air susu wanita lain. Seorang bayi boleh saja menusu kepada wanita lain, bila air susu ibunya tidak memadai, atau karena sesuatu hal, ibu kandung si bayi itu tidak dapat menyusuinya. Nabi Muhammad sendiri pernah dititipkan kepada halimatussa’diyah untuk disusukan dan dipeliharanya / dididiknya. Status ibu yang menyusukan seorang bayi, sama dengan ibu kandung sendiri, tidak boleh kawin dengan wanita itu, dan anak-anaknya. Dalam hukum islam disebut sebagai saudara sepersusuan.
EUTANASIA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Eutanasia terbagi atas dua macam, yaitu eutanasia positif dan eutanasia negatif. Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) tidak diperkenankan oleh syara’ sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara over dosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan llistrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan ,meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada dzat yang menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada allah taala, karena dialah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (eutanasia negatif) berkisar pada menghentikan pengobatan atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada sisakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab akibat. Diantara masalah yang sudah terkenal dikalangan ulama syariah ialah bahwa mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat imam syafi’i dan imam ahmad sebagaimana dikemukakan oleh syekhul islam ibnu taimiyah, satu dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah). Para ulama bahkan berbeda pendapat mana yang lebih utama : berobat atau bersabar ? diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar atau tidak berobat itu lebih utama, berdasarkan hadits ibnu abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada nabi saw, agar mendoakannya, lalu beliau menjawab : “jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapat surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar dia menyembuhkanmu. Wanita itu menjawab aku akan bersabar. Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya. Lalu nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah allah dalam hukum sebab akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya, yaitu para dokter, maka tidak ada seorangpun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib. Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukosa dan sebagainya, atau menggunakan alat pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya
(tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab kematian kalau boleh
diistilahkan demikian semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahman (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi . jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara’
Bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan sisakit dan keluarganya. Contoh dari eutanasia positif, yaitu menghentikan alat pernafasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia menganggap sudah mati atau dihukumi telah mati karena jaringan otak atau sum-sum tulang belakangnya yang dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian, keadaannya seperti keadaan lain yang diistilahkan dengan ath-thuruq al- munfailah. Karena itu saya berpendapat bahwa eutanasia seperti ini berada diluar daerah memudahkan kematian dengan cara aktif.
PERAWATAN BAYI BARU LAHIR
1. Membersihkan tali pusat
2. Menggunting kuku
3. Membersihkan telinga
4. Membersihkan mata
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BATU REN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batu Saluran Kemih (Urolithiasis) merupakan keadaan patologis karena adanya masa keras se...
-
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN METODE PENGUKURAN KONSUMSI MAKANAN BERDASARKAN SASARAN PENGAMATAN ATAU PENGG...
-
1.1 Latar Belakang Gastroenteritis biasa disebut diare adalah salah satu penyakit yang banyak terjadi di Indonesia. Gastroenteritis da...
-
PEMBELAHAN SEL MIOSIS & MITOSIS, SPERMATOGENESIS DAN OOGENESIS Proses pembentukan gamet atau sel kelamin disebut gametogenesis, ada dua ...
No comments:
Post a Comment